Penulis Efvinggo Fasya, dari buku Meng(aku) Menusia.
Orang tuaku segera menangis tersedu hingga air matanya menyungai membelah pipi. Media sosial para tetangga pun sudah penuh berhias swafoto dengan wajah masygul dan aku yang nampak kaku karena tak berdaya untuk bergaya. Aku dikebumikan di tempat yang kata orang-orang angker. Tempat yang dulu sempat sangat aku takuti untuk lewat bahkan untuk sekadar menunjuknya dengan jari telunjuk. Aku menuju ke tempat itu dengan mengendarai pundak yang dijalankan oleh kaki milik para keluarga dan tetanggaku yang saling bergantian jika sekiranya sudah mulai pegal. Mengingat, perjalanan menuju tempat itu cukup jauh untuk ditempuh. Bukan karena macet atau karena mereka tidak tahu jalan tikus. Tapi memang karena jarak antara kampung tempatku tinggal dengan tempat angker itu terpisahkan oleh dua puluh satu kilometer dengan bentang jalan berbatu dan naik turun seperti ayunan bayi yang digantungkan di kasau. Jalan ini merupakan satu-satunya jalan untuk mengakses kampungku. Mungkin jika ada yang nekat melewati jalan kampungku menggunakan mobil, paling minim ia akan berhasil memuntahkan seluruh isi perutnya, dan yang lebih parah ia akan terpelanting ke arah jurang yang aku pun tak pernah tahu ujungnya. Itulah sebabnya kendaraan paling aman untuk melintasi jalan ini adalah ayunan kaki.
Setelah menempuh perjalanan yang sangat melelahkan, aku sampai di tempat di mana aku akan hidup abadi di rumah berukuran dua kali empat meter. Rumah ini memang sengaja aku pesan lebih selesa dari milik orang-orang yang sudah terlebih dahulu tinggal di sana. Bukannya aku memiliki orang dalam sehingga bisa memesan ukuran rumah yang lebih selesa, tapi karena aku hanya tak ingin rumahku nanti sempit. Apalagi jika ingat aku akan hidup abadi di sini.
Aku telah masuk ke dalam rumah abadiku. Orang-orang juga telah selesai menutup pintu rumahku dan menimbunnya menggunakan tanah gembur yang tak lupa mereka ambil cacingnya untuk ajang memancing yang akan dilaksanakan dalam rangka memperingati hari ulang tahun kampung. Sebelum pergi mereka juga tak lupa untuk menangkap rumahku dengan gawainya untuk sekadar dibagikan ke laman media sosialnya. Tak lupa mereka juga menghiasinya dengan pengantar masygul nun mendayu guna menambah kesan tengah berduka.
Aku merasakan hentakan kaki yang mulai berayun menjauh dari rumahku. Tak terlalu cepat dan juga tak terlalu lambat. Orang terakhir yang menemaniku adalah kedua orang tuaku yang tak hentinya menangis. Sebelum akhirnya orang tuaku diberikan ceramah singkat oleh ustaz yang sedikit menabahkan hati mereka. Tak lama dari itu kemudian mereka bersedia untuk mencabut duduknya dari tanah yang sudah membentuk rongga sesuai dengan ukuran bokong. Langkah ke enam mereka beranjak dari rumahku, aku segera didatangi oleh sosok yang aku pun tak bisa menggambarkannya dengan jelas. Mungkin dia adalah malaikat.
Dituntunnya aku menuju tempat yang begitu selesa, hingga mataku tak berhasil menemukan ujung dari tempat itu. Tempat di mana langit biru berhias awan putih, matahari yang cerah tanpa menyengat, burung-burung yang saling bersahutan, dan hutan tropis dengan aliran sungai yang lebih jernih dibandingkan air manapun. Belum pernah aku lihat ini sebelumnya semasa aku hidup di Bumi. Aku tak banyak bertanya pada malaikat itu, aku jelas yakin kalau ini adalah surga yang banyak idamkan oleh manusia-manusia brengsek di Bumi. Karena aku yang tak kunjung memberikan pertanyaan atau sedikit keheranan pada malaikat yang mengantarku, dia kemudian membuka percakapan karena mungkin ia tidak betah bibirnya mengering karena sepanjang perjalanan tak pernah bertukar kata denganku.
“Kamu tahu tempat ini?”
“Tentu.”
“Tempat apa ini?”
“Pentingkah sebuah nama?”
“Nama akan memudahkanmu dalam berkomunikasi.”
“Bukankah nama atau bahasa apapun itu hanyalah kesepakatan antar komunikan?”
“Itu cukup benar.”
“Aku tak mau menamai ini tempat apapun, karena jika aku menamai ini surga bisa jadi ini neraka bagi orang lain.”
“Tapi kamu harus terima kalau kamu sedang ada di salah satunya saat ini.”
“Pantaskah aku di sini?”
“Aku tak tahu, aku hanya diminta membawamu ke sini.”
“Lalu apa yang bisa aku dapatkan di sini?
“Apapun.”
“Benarkah?”
“Tentu.”
“Aku akan mencobanya.”
Begitu kemudian malaikat itu menghilang dari pandangan mataku lewat sebuah kedipan. Aku ditinggalnya di sini tanpa berteman apapun sebelum aku meminta untuk dihadirkan seorang wanita yang mau menerima aku apa adanya. Mungkin permintaan ini dipengaruhi karena aku yang mati ketika masih bujangan dan belum sempat merasakan bagaimana nikmatnya surga dunia seperti yang pernah diceritakan oleh teman indekosku setelah berkencan dengan pacarnya. Aku hidup dengan wanita yang telah aku minta ini selama bertahun-tahun sampai aku merasa jenuh dengan apapun yang ia tawarkan.
Permintaan keduaku adalah sebuah rumah di tepi bukit yang menjadi pagar agar air laut tidak meluber ke daratan. Aku ingin sebuah rumah kecil berdinding papan, bergenting daun lontar, berbalkon lengkap dengan dua kursi goyang dan kenap kecil untuk tempat aku menulis setiap apa yang ingin aku tulis sembari menghantarkan pendar senja kepada pemiliknya. Aku ingin menghasilkan tulisan terbaikku di tempat itu. Aku tak ingin melewatkan setiap intuisi yang silih berganti lewat dan mengendap di pikiranku. Aku ingin merangkai mereka menjadi sebuah lantunan pantun, puisi, ataupun elegi yang belum pernah diciptakan oleh manusia manapun.
Ketiga aku meminta untuk selalu diberikan pagi lengkap dengan rasa semangat. Pagi dengan kecupan mentari yang hangat dari sela jendela. Pagi yang rela menunggu walaupun aku masih lelap. Pagi dengan segelas teh ataupun kopi yang telah diaduk oleh wanitaku. Pagi yang selalu teriring nyanyian kakak tua yang bahkan terkadang bisa berbicara. Aku menginginkan semua yang aku inginkan. Aku memang banyak mau soal ini.
Tak terasa sudah sepuluh tahun aku hidup di tempat yang katanya surga ini. Aku telah berhasil menulis buku empat kali tebal Das Kapital, dan aku juga telah tunai dengan segala keinginan. Daftar permintaanku sudah sepanjang bibir pantai yang ada di muka Bumi. Aku kehabisan stok permintaan, karena memang setiap apapun yang aku inginkan sudah aku minta dan selalu terkabul. Ini baru sepuluh tahun, belum aku akan hidup abadi di sini. Bagaimana kalau aku terus kehabisan ide untuk meminta sesuatu, tentu ini akan jadi sesuatu yang membosankan.
Tak butuh waktu lama, bosan akhirnya benar menerpaku. Aku digerus bosan karena setiap permintaanku sudah terkabul. Apakah setiap orang yang masuk surga akan selalu mengalami kebosanan seperti apa yang aku rasakan? Tanyaku pada diri sendiri. Lalu apakah sebenarnya surga itu? apakah surga hanya perihal yang selalu menyenangkan? Bagaimana kalau Tuhan juga menciptakan sesuatu yang tidak menyenangkan di surga ini agar aku tahu caranya menikmati sesuatu yang menyenangkan. Kemudian ide baru itu pun muncul. Aku meminta untuk adanya sesuatu yang tidak menyenangkan ada di dalam surgaku ini. Diturunkanlah badai selama tujuh hari tujuh malam yang gentingnya hingga memahitkan lidah, yang dinginnya sampai membekukan jantung, dan ributnya sampai mematikan pikiran. Berkat badai ini pula rumahku yang mematung di tepi tebing itu terbang melayang secara acak seperti dadu bandar judi. Aku cukup kaget dengan kejadian ini, tapi aku juga senang karena akhirnya aku bisa lebih merasakan sesuatu yang menyenangkan setelah adanya sesuatu yang tidak menyenangkan. Begitu terus berulang permintaanku ketika aku sudah kehabisan ide dan kesenangan mulai menggerusku dengan rasa bosannya.
Cara ini memang sedikit ampuh untuk mengusir kebosanan akan sesuatu yang menyenangkan. Tentu dengan membuat sesuatu yang tidak menyenangkan adalah sesuatu yang menyenangkan itu sendiri. Aku sering meminta apapun yang tidak menyenangkan itu agar aku bisa lebih peka terhadap sesuatu yang menyenangkan. Hingga akhirnya aku bosan juga karena aku terus-terusan melakukan trik itu.
“Kenapa semua manusia ingin masuk surga?”
“Aku tak tahu.”
“Apa mungkin mereka termakan ekspektasi?”
“Aku tak bisa menerangkan itu.”
“Aku akan memberi tahu mereka kalau hidup kekal di surga adalah sesuatu yang membosankan.”
“Kenapa?”
“Karena aku telah mengalaminya, baru sepuluh tahun aku sudah tak betah di sini.”
“Benarkah?”
“Iya benar. Di sini semuanya serba menyenangkan, dan serba menyenangkan adalah sesuatu yang tidak menyenangkan itu sendiri.”
“Lalu kamu ingin masuk neraka?”
“Bukankah sekarang aku sudah di neraka?”
“Maksudmu?”
“Mungkin aku tidak dibakar, tidak juga meleleh, tidak juga meminum nanah. Tapi sekarang aku benar hidup di neraka. Aku dilanda kebosanan yang luar biasa. Menurutku surga dan neraka adalah bagaimana kita menikmati hidup, hidup yang juga butuh keseimbangan antara baik dan buruk, tinggi dan rendah, serta wangi dan busuk. Kalau aku selalu ada dalam sesuatu yang menyenangkan lalu bagaimana aku bisa merasakan yang menyenangkan tersebut, sedang aku sudah terlalu terbiasa oleh hal itu, bukankah aku butuh pembanding?”
“Kamu sedikit ada benarnya.”
“Kau baru saja menambah kebosananku.”
“Apalagi?”
“Tak maukah kau selisih pendapat denganku, agar setiap apa yang aku inginkan tidak selalu sama dengan apa yang ada di kenyataan?”
“Kamu mau aku tak sependapat denganmu agar kita berdebat dan hidupmu lebih berwarna di sini?”
“Tentu, ayolah berdebat denganku.”
“Dari pada berdebat kenapa kamu tak meminta agar rasa bosanmu dibinasakan, dengan begitu kamu akan senantiasa senang tanpa harus meminta sesuatu yang tidak menyenangkan, bukan?”
“Kenapa kau tak memberiku solusi itu sejak awal.”
“Kamu tak pernah bertanya.”
Akhirnya aku benar-benar minta untuk rasa bosanku dibinasakan agar aku tak pernah bosan dengan segala fasilitas yang ada di sini. Benar saja, aku sekarang hidup lebih bergairah dari sebelumnya karena mungkin aku selalu merasakan kesenangan dan kebahagiaan tanpa ada rasa bosan yang menghantuiku. Dan aku berharap aku masih ingat dengan permintaanku yang satu ini ketika aku benar-benar masuk surga nanti. Karena ternyata neraka tak hanya menyiksa dengan sesuatu yang panas lagi melelehkan, tapi neraka juga menyiksa dengan segala kenikmatan.
0 Comments