Penulis @f.a.amri_, dari buku Anomali.
/1/
Hari yang kunantikan telah tiba. Hari di mana aku akan menjadi seorang Ibu. Kulihat Bapak dan Ibu sedang berbicara dengan bidan Ida di luar kamar bersalin. Sekitar pukul 9 malam tadi kurasakan perutku sedikit mulas dan muncul air bercampur darah dari pangkal kakiku. Ibu yang kebetulan melihat kondisiku langsung panik dan memberitahu Bapak yang sedang merokok di luar. Tanpa lama, Bapak & Ibu langsung menuntunku menuju Rumah Bersalin di daerah kampung Hulu. Meskipun aku berkali-kali mengatakan kondisiku tidak apa-apa, namun Bapak dan Ibu sangat cemas. Mungkin karena aku mengandung cucu pertama mereka.
Di tengah perbincangan Bapak, Ibu dan bidan Ida, kudengar ramai suara di luar. Seperti orang-orang yang bergerumul. Mungkin sekitar beberapa menit kudengar suara orang-orang dan bidan Ida yang terdengar seperti marah-marah. Aku tidak dapat memahami apa yang dibicarakan di luar sampai ketika Bapak membuka pintu kamar bersalinku.
“Kenapa Pak ribut-ribut di luar?” tanyaku.
“Tidak apa-apa Nak. Orang kampung hilir ramai mengantar perempuan hamil,” ujar Bapak berusaha menenangkanku.
“Lia tenang saja ya. Kata bidan Ida Lia tidak apa-apa,” ujar Bapak lagi.
“Iya pak kan Lia sudah bilang tadi. Tapi aneh ya pak kok ramai sekali?” aku masih merasa bapak menyembunyikan sesuatu. Namun Bapak hanya diam.
Braakkk!
Pintu tiba-tiba dibuka dengan kasar. Kulihat bidan Ida tampak jengkel sembari mengomel kepada kedua asistennya yang mendorong tubuh seorang perempuan hamil di atas ranjang. Kuduga ia adalah perempuan yang diantar orang-orang kampung hilir di luar.
“Dasar orang kampung hilir! Hari begini masih percaya ada kuyang!”
Deg!
Jantungku entah mengapa berdegup lebih kencang. Kulihat bapak agak kesal dengan sikap bidan Ida. Namun bapak tetap saja diam.
“Lia tidak usah khawatir yang dikatakan bidan Ida. Tidak ada yang namanya Kuyang itu,” ujar Bapak sambil memijat ringan tanganku.
“Setelah ini bapak keluar sebentar ya Nak. Nanti Ibu akan tinggal menemani,” kurasakan Bapak berusaha tenang namun aku merasa bapak masih menyembunyikan sesuatu.
“Iya tidak apa-apa Pak,” ujarku menurut, tidak ingin membuat Bapak lebih khawatir lagi. Bapak bergegas keluar ruangan dan kudengar sedikit bercakap dengan Ibu. Sesaat kemudian Ibu masuk ke ruangan sambil tersenyum.
“Bapak mau ke mana Bu? tanyaku.
“Pulang sebentar Nak. Katanya Bapak mau ambil cermin dan gunting di rumah sebentar,” ujar Ibu.
Untuk apa Bapak mengambil gunting dan cermin? batinku heran. Namun aku tidak ingin membahasnya dengan Ibu. Kudengar perempuan di bilik sebelahku masih gelisah. Bidan Ida dan kedua asistennya juga masih di sana. Mungkin perempuan tadi sebentar lagi melahirkan. Kudengar ia mengerang beberapa kali. Aku mulai merasa khawatir. Mungkin karena ini adalah pertama kalinya aku akan melahirkan.
“Di luar masih ramai orang Bu?” tanyaku pada Ibu sambil berusaha mengalihkan rasa khawatirku.
“Sudah tidak, Nak. Mereka tadi diusir bidan Ida,” jelas Ibu.
“Ya memang yang namanya tempat bersalin tidak boleh ramai Nak. Apalagi mereka tadi yang mengantar hampir semuanya merokok. Wajar kalau bidan Ida marah,” aku hanya mengangguk mendengar penjelasan Ibu.
Bidan Ida dan kedua asistennya keluar dari bilik sebelah yang hanya tersekat gorden. Aku tidak bisa melihat kondisi perempuan hamil tadi namun tidak lagi kudengar erangannya.
“Lia, Ibu tidur di luar dulu ya,” ujar Ibu memecah lamunanku.
“Kata bidan Ida tadi Lia mungkin lahiran besok pagi. Soalnya masih bukaan 3.”
“Iya Bu,” ujarku memegang tangan Ibu.
“Tidak apa-apa. Nanti kalau sudah lahir, kamu akan merasa jadi wanita paling bahagia Nak,” ujar Ibu membalas pegangan tanganku. Aku tersenyum mendengar Ibu menenangkan hatiku yang khawatir pada detik-detik menjelang kelahiran anak pertamaku.
“Ya sudah, Ibu tunggu di luar ya. Kalau ada apa-apa panggil Ibu saja,” ujar Ibu melepaskan genggamannya.
“Terima kasih Bu,” kulihat Ibu meninggalkanku sejenak kemudian untuk beristirahat. Hatiku kini lebih tenang. Kupejamkan kedua mataku.
Segalanya akan baik-baik saja.
/2/
Aku terbangun dari tidurku saat kurasakan perutku sedikit mulas. Waktu di handphone-ku menunjukkan pukul 02.05. Aku mencari Ibu namun aku teringat kalau Ibu tidur di bangku luar. Aku berusaha bangun dan beranjak. Namun sesaat sebelum beranjak ke kamar mandi, kudengar ada suara yang cukup aneh. Seperti seseorang yang sedang memakan mie kuah atau meminum sesuatu. Dan suara itu terdengar dari bilik sebelah tempat wanita hamil dari kampung hilir yang masuk setelahku tadi.
Mungkin ia sedang makan atau minum sesuatu, batinku. Aku beranjak dari ranjang pelan-pelan, berusaha tidak menimbulkan suara karena aku tidak ingin mengganggu wanita hamil di sebelahku. Namun suara si wanita hamil di sebelah kurasakan semakin keras seakan menghisap sesuatu.
Apa yang ia lakukan?, pikirku. Kutunda keinginanku ke kamar mandi untuk memenuhi hasrat penasaranku. Kuberanikan mengintip dari ujung gorden bilik. Darah dalam tubuhku seketika berdesir kencang ketika kulihat wanita kampung hilir itu seperti koma. Wajahnya sangat pucat dengan mata yang terangkat ke atas. Namun suara hisapan itu tetap ada dan semakin keras. Seperti seseorang yang menghisap minuman dengan rakus. Dan itu berasal di antara kakinya yang terangkat. Kepalaku maju sedikit lebih jauh untuk melihat ada apa di antara kaki wanita itu.
Deg!
Tubuhku langsung mati rasa melihat kejadian di depanku. Sosok kepala dengan organ tubuh yang menggantung di bawahnya sedang menghisap sesuatu di antara kaki wanita hamil itu. Dapat kulihat organ dalam tubuh manusia seperti paru-paru, usus, dan organ dalam lain berwarna merah darah dan menggantung di bawah kepala dengan rambut yang acak-acakan. Ujung kasur tempat posisi kaki wanita itu dipenuhi darah yang mulai mengering. Dan apa yang terjadi di depan kedua mataku menjadi lebih mengerikan saat aku menyadarinya. Darah. Itulah yang dihisap makhluk itu.
Aku ingin berteriak, muntah dan berlari. Namun, otakku seperti mati. Yang kulakukan justru diam dan tak bergerak sedikit pun. Tiba-tiba kurasakan sesuatu membasahi kedua kakiku. Kulihat air ketuban bercampur darah keluar dari pangkal pahaku. Saat kutengadahkan kepalaku, kulihat makhluk itu tampak mencium sesuatu, seperti hewan yang mencium bau makanan. Dan saat makhluk itu menoleh padaku, aku terhuyung-huyung hampir terjatuh. Wajah makhluk itu mirip dengan bidan Ida. Tidak! Makhluk itu mirip sekalidengan bidan Ida. Aku menyadarinya dari tahi lalat besar di samping bibir atasnya.
Perlahan kepala mengerikan itu bergerak meninggalkan wanita malang dari kampung hilir yang sudah tergeletak tak berdaya di kasur. Ia terbang perlahan menujuku sambil meneteskan darah segar di seluruh wajahnya. Waktu tiba-tiba terasa lambat. Segalanya begitu sunyi. Bahkan aku dapat mendengar detak jantungku sendiri. Seakan tulang-tulangku tak mampu menopang tubuhku lagi, aku terjatuh lemas. Diiringi tatapan tajam makhluk mengerikan itu, aku teringat Bapak yang pergi mengambil gunting dan cermin. Aku tiba-tiba teringat perkataan orang-orang dulu bahwa kuyang sangat takut pada dua benda tersebut. Aku ingin berteriak memanggil nama Bapak namun hanya suara lirih yang keluar dari dalam mulutku.
“Bapak.”
0 Comments